oleh: Farid Wajdi Amrullah
Profesi guru yang di dalam
forum-forum resmi dan di naskah-naskah formal akademik begitu mulia, bahkan ada
yang memberi gelar sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Para pakar pendidikan
pun pada umumnya memasukkan guru sebagai pekerja profesional, yaitu pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh
pekerjaan lain. Walaupun pada kenyataannya tidak jarang pula sosok seorang guru
hadir sebagai pekerjaan alternatif di tengah-tengah lapangan dan kesempatan
kerja yang makin langka. Namun demikian, di masyarakat luas nampaknya masih
menjadi semacam profesi kelas dua, di bawah profesi-profesi lain, seperti
dokter, notaris, pegawai perusahaan (PT), konsultan hukum dan sebagainya.
Kondisi ini sangat disayangkan,
sebab guru merupakan subjek yang sangat besar sumbangannya dalam membangun
manusia masa depan. Di tangah-tangah makin maraknya nuansa orang kebanyakan
menempatkan uang dan harta kekayaan sebagai indikator puncak prestasi pribadi
dan keluarga, nampaknya profesi guru makin ditempatkan kedalam kelompok profesi
yang kurang membanggakan. Meskipun profesi guru tidak diukur dari prestesi
ekonami mereka, melainkan dari prestasi intelektual bangsa.
Tuntutan masyarakat yang begitu
besar terhadap fungsi guru dalam mendidik anak-anak mereka, peranan guru
sebagai pendidik akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya secara fungsional.
Hal ini antara lain disebabkan oleh munculnya serangkaian fenomena para lulusan
pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik
juga kurang siap untuk memasuki dunia kerja. Jika fenomena tersebut benar
adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terkait dengan peranan
guru sebagai pendidik. Hal tersebut yang membuat kesan masyarakat terhadap
kredibilitas guru belum membaik. Bahkan mungkin saja masyarakat menuntut peran
guru dalam mendidik anak-anak mereka di luar batas kemampuan yang dapat mereka
buat.
Terutama dalam masyarakat pedesaan, penghormatan
terhadap figur guru tidak diragukan lagi. Guru adalah manusia biasa yang
memiliki banyak keterbatasan seperti halnya keterbatasan manusia kebanyakan
–kebutuhannya tidak hanya self esteem masih ada kebutuhan lain (lebih
mendasar dari self esteem) yang harus dipenuhi– begitu juga kebutuhan
kehidupan keluarga guru pun makin meningkat seperti kebutuhan keluarga lain
pada umumnya seperti kebutuhan kesehatan, gizi, tempat tinggal dan sebagainya.
Akan tetapi mereka yang sudah menyandang predikat guru pun konon masih belum
memiliki kebanggaan dengan profesi yang dijalaninya, ada yang mengatakan “pekerjaan
saya kan hanya guru” ungkapan klise semacan ini nampaknya kian bergeser
sejalan dengan makin membaiknya kesejahteraan guru, meskipun masih belum setara
dengan profesi-profesi yang disebutkan di atas tadi. Membaiknya kesejahteraan
guru memungkinkan mereka membeli dan membaca sumber informasi untuk mengurangi
kekonservatifannya. Sehingga apresiasi guru terhadap profesinya dan peningkatan
citra masyarakat terhadap guru dan profesi yang disandangnya tidak terlepas
dari fungsi perbaikan taraf hidup mereka.
ssl, 28 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar