Bermacam-macam
fenomena melanda kehidupan bangsa Indonesia, diantaranya adalah krisis yang
melanda diberbagai aspek kehidupan seperti ekonami, politik, sosial, hukum,
kebudayaan, hankam dan sebagainya. Dalam bidang ekonomi, adanya praktek
monopoli, saling menipu, saling menindas, persaingan yang tidak sehat dan lunturnya
kecintaan terhadap produk made in dalam negeri. Dalam bidang politik, kebijakan
dipegang oleh sekelompok penguasa, persaingan para elit politik juga menunjukkan
gejala yang kurang santun, adanya rasa saling mencurigai bahkan saling menjegal
–yang mungkin sah-sah saja dalam dunia politik. Dalam bidang sosial ditandai
oleh adanya kesenjangan sosial, hubungan antara sesama warga negara yang kurang
harmonis. Dalam bidang hukum, penegak hukum yang masih diskriminatif, cenderung
berpihak kepada yang lebih kuat, putusan hukum yang masih dapat di-kurs dengan
mata uang. Dalam bidang kebudayaan, kurangnya pelestarian warisan budaya sehingga
baru terbuka mata ketika kebudayaan tersebut akan “dirawat pihak lain”. Dalam
bidang hankam misalnya akhir-akhir ini di ibu kota dan sekitarnya dihebohkan
dengan “parsel bom”.
Namun
yang tak kalah serunya lagi dengan bermacam-macam krisis tersebut adalah berbagai
musibah alam yang datangnya silih berganti –bahkan datang bertubi-tubi,
hadirnya peristiwa satu dan lainnya hampir-hampir tidak berjarak–
menghampiri bangsa ini. Mulai guncangan gempa di berbagai daerah, meletusnya
Merapi, tanah longsor, puting beliung,
cuaca ekstrem (banyaknya perahu-perahu nelayan yang memadati lahan parkir),
banjir, gagal panen bahkan sulit tanam.
Implikasi Manusia dengan Fenomena Alam
Munculnya
peristiwa alam yang membawa kesengsaraan memang tidak diinginkan oleh setiap
orang. Baik peristiwa tersebut secara langsung menimpa manusia atau dampak yang
ditimbulkan oleh peristiwa tersebut. Musibah memang datangnya tak terduga.
Segala yang telah diperbuat manusia, yang dikira akan dapat dilihat, dipakai,
dinikmati dan dibanggakan akan lenyap apabila musibah datang. Datangnya musibah
yang tiba-tiba sering tak disadari oleh manusia, adanya ekologi yang tidak
seimbang merupakan gejala-gejala terjadinya bencana alam. Pola hubungan yang
dibangun antara manusia dengan alam masih jauh dari pola hubungan mutualism. Kesadaran
untuk dapat hidup berdampingan dengan alam ini merupakan upaya yang
gampang-gampang susah. Hanya kelompok minoritas saja yang menyadarinya,
sehingga keharmonisannya sulit terwujud. Keunggulan manusia dibandingkan dengan
mahluk lainnya di muka bumi ini hendaknya dapat benar-benar memanifestasikan
apa yang di sebut Khalifah fi al Ardl.
“Mungkin
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan
dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya
pada rumput yang bergoyang” adalah sepenggal syair lagu Ebit G Ade. Seakan-akan
beliau mencari jawaban atas bencana yang terjadi di alam ini. Juga memberikan
isyarat kepada kita bahwa terdapat tiga faktor yang selalu berada dalam ada
bencana, Yaitu Tuhan, alam dan manusia. “Atau alam mulai enggan bersahabat
dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”, dari syair
tersebut mengindikasikan adanya hubungan alam dengan kita (manusia) yang
merupakan suatu ekosistem, tentunya dapat kita ketahui bagaimana hasil dari
suata pola hubungan yang tidak harmonis di dalamnya. Wahai manusia bertanyalah pada
dirimu sendiri dari apa yang telah engkau perbuat terhadap alam dan sebaliknya.
Akan tetapi manusia sering lupa kalau peranannya dalam kehidupan ini juga
mempunyai andil terhadap macam-macam bentuk perubahan diatas muka bumi ini.
Ketika perubahan itu membawa maslahat untuk sekelilingnya, dengan bangga
manusia menepuk dada. Tetapi apabila yang terjadi sebaliknya (terjadi bencana
atau musibah) manusia saling menyalahkan satu sama lain, “manusia tempatnya
salah dan lupa” sebagai postulasi, mengatakan kehendak taqdir, bahkan tanpa merasa bersalah (feel guilty) menyatakan
sebagai ketidakadilan Tuhan.
“Kehadiran” Tuhan
Seiring dengan datangnya
bencana atau musibah ada kelompok lain yang mempertanyakan “mengapa Tuhan selalu
diikutsertakan dalam setiap peristiwa natural yang menimpa manusia”. Dengan analisis ilmiahnya kaum ilmuwan akan
menberikan penjelasan secara ilmiah. Atau rasionalis yang menolak apabila
bencana dikaitkan dengan adzab Tuhan, karena cara pandang dan pola pikir mereka
yang selalu mengedepankan akal sehat.
Munculnya
beberapa pertanyaan yang menarik untuk kita memberikan opini. Pertama, adakah
korelasi langsung antara bencana dengan kerusakan moral?. Secara tidak langsung
mungkin ada, misalnya penggundulan hutan secara liar, sehingga tidak ada yang
menahan curah air hujan yang menyebabkan tanah longsor. Dampak kerusakan moral
model ini akal dapat menjelaskan. Tetapi bagaimana dengan merajalelanya
kemaksiatan, adakah korelasi langsung antara keduanya? Ini yang masih menjadi
perdebatan dalam suatu kelompok. Secara tidak langsung pula mungkin ada. Kalau
kita menggunduli hutan mengakibatkan tanah longsor, membuang sampah di sungai
menyebabkan meluapnya aliran air misalnya, itu merupakan kedhaliman manusia
terhadap alam. Tetapi kalau banyaknya kemaksiatan sehingga menimbulkan gempa bumi
atau tsunami misalnya, itu merupakan bentuk kedurhakaan manusia kepada Tuhan
secara langsung. Bukankah manusia telah dilarang untuk berbuat yang demikian?,
dan juga karena Tuhan adalah pemilik segala yang terdapat di jagat raya ini.
Mungkin ini merupakan salah satu bentuk “kemarahan” Tuhan sehingga terjadi
bencana atau musibah. Ini sudah bukan lagi tugas akal untuk memberikan
penjelasan.
Kedua, kalau bencana (gempa bumi atau tsunami) merupakan adzab Tuhan terhadap kemaksiatan, mengapa yang menjadi korban tidak hanya pelakunya saja?. Dari pertanyaan tersebut, sepintas memang kita melihat adanya ketidakadilan. Situ yang berbuat, kenapa sini juga kena getahnya?
Manusia mungkin lupa jika kemaksiatan sudah merajalela dan amar ma'ruf nahi munkar tidak lagi dijalankan, maka Allah SWT akan menurunkan adzabnya tidak hanya kepada orang-orang yang melakukan kedzaliman saja secara khusus, tetapi juga terhadap orang yang ada diantara mereka, karena tidak tegaknya amar ma’ruf nahi munkar.
Kedua, kalau bencana (gempa bumi atau tsunami) merupakan adzab Tuhan terhadap kemaksiatan, mengapa yang menjadi korban tidak hanya pelakunya saja?. Dari pertanyaan tersebut, sepintas memang kita melihat adanya ketidakadilan. Situ yang berbuat, kenapa sini juga kena getahnya?
Manusia mungkin lupa jika kemaksiatan sudah merajalela dan amar ma'ruf nahi munkar tidak lagi dijalankan, maka Allah SWT akan menurunkan adzabnya tidak hanya kepada orang-orang yang melakukan kedzaliman saja secara khusus, tetapi juga terhadap orang yang ada diantara mereka, karena tidak tegaknya amar ma’ruf nahi munkar.
Allah SWT berfirman dalam
surat al-Anfal ayat 25:
واتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خآصة واعلموا أن الله شديد العقاب
Artinya: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
Ini merupakan perbedaan antara umat
nabi terdahulu dengan umat Muhammad SAW. Kalau umat nabi Nuh AS yang
pembangkang ditelan oleh banjir skala internasional, umat nabi Shalih AS yang durhaka
disambar petir dan Fir’aun cs tenggelam di laut merah. Tetapi bentuk adzab umat
sekarang seperti yang dapat kita lihat kini.
Ketiga,
kalau bencana merupakan adzab terhadapn kemaksiatan, mengapa tidak semua yang
berbuat maksiat tertimpa bencana? Di luar sana masih banyak yang berbuat
kemaksiatan, tetapi masih aman-aman saja. Ini merupakan landasan kaum pemuja
akal yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara bencana dan
kemaksiatan. Seandainya setiap pendosa terdapat tanda; tangannya cacat, matanya
buta atau tuli misalnya, rasanya di dunia ini sedikit sekali orang yang berbuat
kemaksiatan.
Penutup
Hingga
sekarang perspektif ilmiah dan religius masih muncul ketika terjadi bencana,
yang keduanya selalu memberikan analisis sendiri-sendiri. Di satu sisi segala
bentuk bencana dapat di berikan penjelasan secara alamiah, di sisi diperlukan
juga pendekatan religius. Seiring dengan itu seorang Alim akan segera
mengembalikan kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan terhadap apa yang telah
terjadi, baik sebagai bentuk peringatan Tuhan, sebagai ujian Tuhan, sebagai
hukuman Tuhan maupun sebagai bentuk lain dari kasih sayang Tuhan (untuk
memperoleh derajat yang mulia di sisi-Nya). Tidak menjadikan salah satu
perspektif yang satu lebih unggul dari yang lain. Wa allahu‘alam bi as sowab.
الهى سلم الا مة من البلوى ومن لمة # ومن
هول ومن هد مة بنيل الفضل يا الله
Tidak ada komentar:
Posting Komentar